1/20/11

Saat mengukir lagenda kepahlawanan


Kemanjaan. Itu sifat yang natural yang banyak ditemukan dalam kehidupan pribadi pahlawan mukmin sejati. Tapi itu berbeza dengan sifat melankolik, semacam kelemahan emosional yang membuat seorang pahlawan dikalahkan oleh dorongan-dorongan emosinya, seperti cinta dan benci, yang setiap saat dapat mengalihkan arah hidupnya. Di sini cinta itu tidak menjadi sumber energi jiwa, tapi berubah menjadi beban yang boleh jadi dapat mencabut anugerah kepahlawanan yang telah disiapkan untuknya.
Tampaknya inilah rahsia besar di balik peringatan Allah swt dalam Al-Quran, bahwa suami/istri, anak-anak, orang tua, atau siapa saja yang kita cintai, setiap saat dapat menjadi musuh bagi kita. Mungkin dalam bentuk permusuhan langsung, tapi bisa juga dalam bentuk cinta yang berlebihan, yang berkembang sedemikian rupa menjadi kebergantungan jiwa.
Cinta seperti itu pasti tidak akan menjadi sumber energi dan kekuatan jiwa. Ia akan menjadi sumber kecemasan dan ketakutan. Kecantikan sang istri dan ketmapanan sang suami akan berubah menjadi ancaman yang membuat kita ngeri membayangkan perpisahan.  Tidak akan pernah ada karya besar yang lahir dari jiwa yang bergantung pada emosi-emosinya sendiri, yang takluk pada perasaan-perasaannya sendiri, walaupun itu bernama cinta.
Itulah sebabnya Abu Bakar pernah menyuruh anaknya, Abdullah, menceraikan istrinya. Itu karena beliau melihat bahwa anaknya terlalu mencintai istrinya, dan cintanya telah berubah menjadi semacam kebergantungan. Kebergantungan itu membuatnya takut berpisah dengan isteri/suami, bahkan kadang untuk sekadar melakukan shalat jamaah di masjid. Umar Bin Khattab juga pernah menyuruh anaknya, Abdullah Bin Umar, yang merupakan satu dari tujuh ulama besar di kalangan sahabat, untuk menceraikan istrinya, dalam sebab yang sama.

Cinta adalah sumber kekuatan jiwa yang dahsyat. Tapi kebergantungan adalah kelemahan jiwa yang dalam banyak hal merupakan sumber kehancuran. Ada banyak pahlawan yang kehilangan momentum kepahlawanannya karena kelemahan jiwa ini.
Maka para pahlawan mukmin sejati selalu menanamkan sebuah tradisi dalam dirinya: 
“Jagalah jarak tertentu terhadap siapapun yang engkau cintai. Sebab kita tidak akan selalu bersamanya setiap saat. Takdir mungkin memisahkan kita dengan orang-orang yang kita cintai setiap saat.Tapi perjalanan menuju kepahlawanan tidak boleh berhenti.”
Tradisi itu yang membuat para pahlawan mukmin sejati perlu mengawal pergerakan emosinya secara ketat. Mereka harus berhati-hati..seperti kisah Imam Syahid Hasan Al-Banna meninggalkan anaknya yang sedang sakit parah, atau mungkin sekarat, untuk sebuah acara dakwah. Istrinya telah mendesaknya untuk meninggalkan acara tersebut demi anaknya. Tapi ia tetap pergi, lalu dia berkata berkata: “Saya tidak akan pernah sanggup menyelamatkan anak ini, walaupun saya tetap berada di sisinya. Dan anak itu masih tetap hidup hingga kini.
Mungkin ini bukan kisah yang dapat direalisasikan. Tapi para pahlawan mukmin sejati mesti selalu dapat menghadapi masalah-masalah yang rumit ketika ia akan mengukir legenda kepahlawanannya.